- Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah yang menikah pada tanggal 14 Oktober 2020;
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sampai sekarang sudah sering terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus;
- Bahwa bentuk perselisihan dan pertengkaran antara Pengugat dan Tergugat tersebut adalah cekcok mulut;
- Bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat karena Tergugat malas bekerja sehingga tidak memberikan nafkah kepada Penggugat;
- Bahwa puncak perselisihan antara Penggugat dan Tergugat adalah sudah pisah rumah sampai sekarang selama 1 tahun, selama itu sudah tidak terbangun komunikasi yang baik layaknya suami isteri bahkan Tergugat sudah tidak pernah menghiraukan dan memperdulikan Penggugat;
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah sering dirukunkan, baik sebelum maupun sesudah pisah rumah, akan tetapi tidak berhasil;
- Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus;
- Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan untuk kembali rukun;
- Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami istri tapi tidak berhasil;
- Adanya alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus;
- Perselisihan dan pertengkaran menyebabkan suami istri sudah tidak ada harapan untuk kembali rukun;
- Pengadilan telah berupaya mendamaikan suami isteri tapi tidak berhasil;
- Menyatakan Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap di depan persidangan, tidak hadir;
- Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan menolak selebihnya dengan verstek;
- Menjatuhkan talak satu ba'in Shughra Tergugat (Agus Widodo bin Kadenan) terhadap Penggugat (Merrita binti Rianto);
- Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat berupa:
- Memerintahkan Pemerintah Kota Surabaya untuk memberikan pelayanan perubahan identitas Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, perijinan dan pelayanan publik lainnya setelah Tergugat memenuhi isi diktum nomor 4 diatas;
- Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 415.000,- (empat ratus lima belas ribu rupiah);
Putusan PA SURABAYA Nomor 4901/Pdt.G/2024/PA.Sby |
|
Nomor | 4901/Pdt.G/2024/PA.Sby |
Tingkat Proses | Pertama |
Klasifikasi |
Perdata Agama Perdata Agama Perceraian |
Kata Kunci | Cerai Gugat |
Tahun | 2024 |
Tanggal Register | 18 Oktober 2024 |
Lembaga Peradilan | PA SURABAYA |
Jenis Lembaga Peradilan | PA |
Hakim Ketua | Hakim Ketua H. Hamzanwadi |
Hakim Anggota | Hakim Anggota Syaiful Iman, Br Hakim Anggota Hj. Siti Aisyah |
Panitera | Panitera Pengganti Deni Setiadi |
Amar | Lain-lain |
Amar Lainnya | DIKABULKAN |
Catatan Amar |
PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya adalah sebagaimana terurai di atas; Menimbang, bahwa Kuasa Hukum Penggugat telah menyerahkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 10 Oktober 2024 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Surabaya dengan nomor 6074/Kuasa/10/2024 tanggal 18 Oktober 2024, dan Kuasa Hukum telah menunjukkan Berita Acara Sumpah oleh Pengadilan Tinggi Surabaya, dengan demikian Kuasa Hukum Penggugat telah resmi dan sah untuk mewakili dan atau mendampingi Penggugat dalam setiap persidangan; Menimbang, bahwa dengan adanya Kuasa Penggugat menyerahkan asli surat kuasa, asli surat gugatan, dan asli surat persetujuan prinsipal untuk beracara secara elektronik, kemudian surat tersebut dicocokkan dengan dokumen yang diupload pada aplikasi e-Court, lalu diverifikasi oleh Ketua Majelis, kemudian Ketua Majelis menyatakan bahwa perkara yang dilakukan melalui elektronik (PERMA Nomor 7 Tahun 2022); Menimbang bahwa dalam dalil gugatan Penggugat yang menyatakan Penggugat dan Tergugat beragama Islam yang tidak terbantahkan, oleh karena itu berdasarkan Pasal 40 dan Pasal 63 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. jo. Pasal 1 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara a quo; Menimbang bahwa Penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa Penggugat telah melangsungkan perkawinan dan rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis, oleh karena itu Penggugat memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perceraian sebagaimana diatur Pasal 49 Ayat (1) huruf (a) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009; Menimbang bahwa dalam gugatan Penggugat domisili Penggugat berada pada yurisdiksi Pengadilan Agama Surabaya, sesuai Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka perkara ini merupakan kewenangan relatif Pengadilan Agama Surabaya; Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berusaha memberikan nasehat kepada Penggugat pada setiap persidangan secara maksimal agar Penggugat bersabar dan rukun kembali dengan Tergugat, namun tidak berhasil, karenanya ketentuan Pasal 130 HIR jo. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah terpenuhi dalam perkara ini; Menimbang bahwa menurut Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi mengharuskan kehadiran kedua pihak yang berperkara, oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan, maka mediasi tidak dapat dilaksanakan; Menimbang bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap ke persidangan sebagai wakil dan atau kuasanya meskipun Pengadilan Agama Surabaya telah memanggilnya secara resmi dan patut, sebagaimana ketentuan Pasal 125 HIR jo. Pasal 26 Peraturan Pemerinah Nomor 9 Tahun 1975, karenanya Tergugat harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dapat diputus dengan Verstek; Menimbang bahwa ketentuan tersebut diatas relevant dengan Hadits Nabi dalam Kitab Hadits Mu?inul Hukkam halaman 96 : ??? ????? ?? ????? ??? ???? ???? ???? ??? : ?? ??? ??? ???? ?? ???? ???????? ??? ??? ??? ???? ?? ?? ?? Artinya : Dari Al Hasan, sesungguhnya Nabi SAW., telah bersabda : ?barangsiapa yang dipanggil oleh Hakim Islam untuk menghadap di persidangan, sedangkan ia tidak memenuhi panggilan itu, maka ia termasuk orang yang dhalim dan gugurlah haknya?. Menimbang bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat merupakan rangkaian dalil yang isinya bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis karena sering berselisih dan bertengkar bahkan sudah pisah rumah. Atas dasar itu, Penggugat mohon untuk dijatuhkan talak satu bain sugra Tergugat terhadap Penggugat; Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian dalil gugatan Penggugat tersebut dan keterangan Penggugat di persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat mengisyaratkan didasarkan pada ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun; Menimbang bahwa karena Tergugat tidak pernah hadir di ruang sidang setelah dipanggil dengan resmi dan patut, maka Majelis Hakim berpendapat alasan pokok yang didalilkan Penggugat tersebut dianggap tidak disangkal dan dibenarkan oleh Tergugat; Menimbang bahwa meskipun Tergugat tidak pernah hadir, Majelis Hakim tetap membebankan kepada Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, karena perkara ini menyangkut bidang perkawinan yang menggunakan hukum acara khusus sesuai kehendak Pasal 54, 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan dalam hukum Islam pernikahan bukanlah sebagai ikatan perdata biasa akan tetapi sebagai ikatan yang akadnya mitsaqan gholidhon (ikatan yang kokoh/kuat); Menimbang bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan bukti surat (P.1 dan P.2) berupa fotokopi Kutipan Akta Nikah dan fotokopi KTP, bermeterai cukup dan telah dicocokkan dan sesuai dengan aslinya sehingga majelis hakim menilai alat bukti tertulis tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai serta Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2021 tentang Pengadaan, Pengelolaan dan Penjualan Materai; Menimbang bahwa alat bukti P.1 dan P.2 tersebut merupakan akta autentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan isinya tersebut tidak dibantah, maka nilai kekuatan pembuktianya adalah bersifat sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 165 HIR; Menimbang bahwa Majelis Hakim telah mendengar keterangan 2 (dua) orang saksi Penggugat yang telah memberikan keterangan di bawah sumpahnya sebagaimana terurai di atas; Menimbang bahwa saksi-saksi Penggugat bukan orang yang dilarang untuk menjadi saksi, memberi keterangan di depan sidang seorang demi seorang dengan mengangkat sumpah, oleh karena itu memenuhi syarat formil saksi; Menimbang bahwa dari segi syarat materiel saksi, keterangan kedua saksi yang menerangkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan telah diupayakan rukun namun tidak berhasil berdasarkan pengetahuan sendiri, oleh karena itu memenuhi syarat materiil saksi; Menimbang bahwa oleh karena saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana ketentuan Pasal 170, 171, 172 HIR jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, maka keterangan saksi tersebut mempunyai nilai pembuktian; Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Penggugat yang dihubungkan dengan bukti-bukti yang saling bersesuaian telah ditemukan fakta hukum sebagai berikut : Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, maka petitum gugatan Penggugat nomor 1 dan 2 dapat dipertimbangkan sebagai berikut : Menimbang bahwa apabila dikaji secara mendalam tujuan syariah (maqasid syariah), khususnya mengenai hukum munakahat, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya hukum asal (dasar) perceraian adalah dilarang dan dibenci, kecuali berdasarkan alasan yang sangat darurat; Menimbang bahwa mengenai formulasi rumusan alasan darurat sebagai alasan perceraian, dalam syariat tidak ditentukan secara terinci dan limitatif, akan tetapi dapat ditemukan melalui hasil ijtihad atau pemahaman fikih atau peraturan perundang-undangan; Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu untuk melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan dimana suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri dan pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum lslam menegaskan salah satu alasan perceraian yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami istri dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun; Menimbang bahwa dari ketentuan pasal-pasal tersebut terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi terjadinya perceraian yaitu : Menimbang bahwa unsur-unsur tersebut akan dipertimbangkan satu persatu dengan mengaitkan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sehingga dipandang telah memenuhi unsur-unsur terjadinya suatu perceraian; Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, telah terbukti bahwa terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara Penggugat dan Tergugat selama 1 tahun, karenanya Majelis Hakim menilai terdapat disharmoni dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat; Menimbang bahwa Majelis Hakim berpendapat disharmoni sebuah perkawinan dalam hukum Islam disebut juga azzawwaj al-maksuroh atau sering disebut broken marriage, yang dalam permasalahan keluarga landasannya bukan semata-mata adanya pertengkaran fisik (phsysical cruelty), akan tetapi termasuk juga kekejaman mental (mental cruelty) yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri sehingga meskipun tidak terjadi pertengkaran mulut atau kekerasan fisik maupun penganiayaan secara terus menerus, akan tetapi telah secara nyata terjadi dan berlangsung kekejaman mental atau penelantaran terhadap salah satu pihak, maka sudah dianggap terjadi broken marriage; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat unsur pertama telah terpenuhi dalam perkara ini; Menimbang bahwa akibat dari perselisihan dan pertengkaran yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat adalah telah terjadi pisah tempat tinggal dan selama pisah Tergugat sudah tidak memperdulikan Penggugat; Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai tindakan Tergugat yang sudah tidak memperdulikan dan menghiraukan Penggugat dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut tanpa adanya komunikasi atau hubungan lahir dan batin tersebut adalah sesuatu yang tidak wajar dalam sebuah keluarga yang rukun dan harmonis, karenanya Majelis Hakim berpendapat rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada harapan untuk dirukunkan kembali; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat unsur kedua telah terpenuhi dalam perkara ini; Menimbang bahwa Majelis Hakim telah berupaya untuk memberikan nasehat kepada Penggugat agar rukun kembali dengan Tergugat pada setiap persidangan sesuai ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun upaya tersebut tidak berhasil, begitu pula upaya mediasi juga tidak dapat dilaksanakan karena ketidakhadiran Tergugat; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim berpendapat unsur ketiga telah terpenuhi dalam perkara ini; Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum dan analisis atas fakta hukum di atas dapat diketahui bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak harmonis, jika dipertahankan akan menimbulkan kesusahan dan kesengsaraan yang terus menerus, rumah bagaikan penjara kehidupan yang tidak jelas batas akhirnya, tiada bertambahnya hari selain bertambahnya penderitaan, dan kondisi kehidupan yang demikian bisa menimbulkan mudharat lahir dan batin; Menimbang bahwa menutup pintu yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan, merupakan alternatif pemecahan masalah guna menghilangkan kemafsadatan; Menimbang bahwa tujuan inti hukum Islam dapat dirumuskan dengan kalimat ?mencapai maslahat dan menolak mafsadat? mengandung pengertian tujuan disyariatkannya hukum termasuk di dalamnya hukum perkawinan, adalah untuk kemaslahatan dalam arti untuk kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat; Menimbang, bahwa oleh karena itu dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, karena mudharat yang ditanggung lebih besar daripada maslahat yang diperoleh, maka memutuskan ikatan perkawinan akan diperoleh maslahat bagi kedua belah pihak daripada mempertahankan perkawinan; Menimbang bahwa relevant dengan perkara ini, dapat diambil sebuah tuntunan dari Hadits Nabi SAW., yang diriwayatkan oleh Imam Malik menegaskan : ?????????????? ????? ???? ??? ?? ?? ???? ???? Artinya : ?Tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan, barangsiapa yang memudharatkan maka Allah akan memudharatkannya dan siapa saja yang menyusahkan maka Allah akan menyusahkannya?; Menimbang bahwa bertolak dari hadits tersebut dan dihubungkan dengan kasus ini, maka seorang suami tidak boleh memberi mudharat kepada isterinya begitu juga sebaliknya, seorang isteri tidak boleh memberi mudharat kepada suaminya, karena perbuatan yang demikian dilarang oleh syariat; Menimbang bahwa Majelis Hakim menilai kondisi rumah tangga seperti terurai dalam unsur kedua diatas merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf (d) jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, karenanya harus segera dihentikan; Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka Majelis Hakim berpendapat dalil-dalil perceraian Penggugat telah terbukti dan telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yakni antara suami istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang sudah tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi sebagai suami istri; Menimbang, bahwa dalam perkara ini Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat pakar hukum Islam Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqhu as Sunnah, Juz II, halaman 249 : ??? ???? ?????? ????? ????? ???? ??? ?? ?????? ??? ???? ?????? ??? ???????? ??????? ?? ???? ?? ?????? ??????? ?????? ?????? ?????? ???? ????? ??? ??? ????? ???? ?? ??????? ??????. Artinya : ?Jika isteri menggugat cerai karena suaminya memudlorotkan terhadap isteri (misal : memukul, mencaci maki, berkata kasar, melakukan perbuatan yang munkar, seperti berjudi dan lain-lainnya sehingga menggoyahkan keutuhan rumah tangga, maka dibolehkan bagi isterinya tersebut utnuk meminta cerai kepada hakim dan bila madlorot tersebut telah terbukti, sedangkan perdamaianpun tidak tercapai, maka hakim menetapkan jatuh talak satu ba?in?. Menimbang bahwa oleh karena itu gugatan Penggugat petitum nomor 1 dapat dikabulkan dengan verstek; Menimbang bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan maka petitum gugatan nomor 2 yang mohon untuk dijatuhkan talak satu bain sughra Tergugat terhadap Penggugat dapat dikabulkan; Tentang Nafkah Madliyah, Nafkah Iddah dan Mut?ah: Menimbang, bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor Tahun 2018 tentang hasil rapat pleno kamar agama menegaskan bahwa mengakomodir PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum maka isteri dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mut?ah dan nafkah iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz; Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terbukti dalam bagian pertimbangan perceraian diatas diketahui bahwa Penggugat tidak terbukti merupakan isteri yang nusyuz sehingga berhak mendapatkan mut?ah dan nafkah iddah; Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendapat pemenuhan hak isteri pasca perceraian ini sejalan dengan ketentuan dan semangat perlindungan hak-hak perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum; Menimbang, bahwa tentang jumlah nafkah iddah yang dibebankan kepada Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat harus disesuaikan dengan kemampuan Tergugat dan kepatutan atau kelayakan kebutuhan hidup di Surabaya; Menimbang bahwa perlunya menegakkan asas kemampuan dan asas kepatutan atau kelayakan hidup dalam penetuan jumlah nafkah agar tercapai tujuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan; Menimbang bahwa sejalan dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan harus dihilangkan adanya kemudharatan, karena jika menetapkan beban yang menyusahkan baik kepada isteri karena terlalu sedikit atau kepada suami karena terlalu memberatkan, maka kondisi yang demikian akan menimbulkan kemudharatan dan kemudharatan harus dihilangkan sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang menegaskan ?Kemudharatan harus dihilangkan?; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dipersidangan bahwa Penggugat dan Tergugat telah pisah tempat tinggal selama 1 tahun dan diketahui dahulu Tergugat kerja sebagai konstruksi, namun tidak diketahui apa pekerjaan Tergugat sekarang; Menimbang, bahwa Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/656/KPTS/013/2023 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2024 menetapkan bahwa upah minimum wilayah Surabaya adalah Rp. 4.725.479,-; Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat dipersidangan bahwa ia masih sedang tidak hamil dan belum monopouse, yang berarti masuk katagori wanita haid sehingga lama masa iddahnya ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurang nya 90 (sembilan puluh hari); Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka Tergugat patut dihukum membayar nafkah iddah kepada Penggugat sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan nafkah madliyah selama 12 bulan sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah); Menimbang, bahwa terkait mut?ah, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut : Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa Tergugat selaku suami dapat dibebani kewajiban untuk memberikan mut?ah yang layak kepada Penggugat selaku isteri sesuai dengan kemampuan dan kepatutan; Menimbang bahwa dalam Al-Qur?an dalam menjelaskan mengenai hukum mut?ah, Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat sebagai berikut : Artinya : ?Dan hendaklah kamu berikan suatu mut?ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) yaitu pemberian menurut yang patut; Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang yang berbuat Kebaikan? (QS Al-Baqarah: 236); Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pemberian mut?ah dapat dikatagorikan dalam memenuhi ketentuan Allah dalam Al-Qur?an surah Al-Baqarah ayat 229 yang menegaskan ?rujuklah dengan cara yang baik atau lepaskan dengan cara yang baik?; Menimbang bahwa dengan pemberian mut?ah dari suami kepada isteri diharapkan akan bisa menyenangkan hati atau menggembirakan perasaan seorang isteri serta mengurangi beban berat yang dirasakan oleh isteri akibat talak tersebut; Menimbang bahwa salah satu norma luhur yang digariskan oleh Allah dalam Al-Qur?an sehubungan dengan pelaksanaan hukum perkawinan yakni peganglah dengan cara yang baik atau lepaskan (ceraikan) dengan cara yang baik; Menimbang bahwa bertitik tolak, berpijak dan berpedoman pada ketentuan asas kebajikan tersebut, maka pemenuhan dan pelaksanaan seluruh ketentuan hukum Islam dalam hal ini hukum perceraian, harus memegang teguh asas kebajikan; Menimbang, bahwa penjelasan tentang asas kemampuan suami dan asas kepatutan sudah dipertimbangkan dalam bagian nafkah iddah dan nafkah madliyah dianggap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pertimbangan bagian ini; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka layak Tergugat dihukum untuk memberikan mut?ah kepada Penggugat berupa uang sejumlah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiha); Menimbang, berdasarkan Surat Edaran MA RI (SEMA) Nomor 4 tahun 2019 angka 1 huruf b yang menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi ha-hak perempuan pasca perceraian dalam perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut ?... yang dibayar sebelum Tergugat mengambil Akta Cerai?; Menimbang, bahwa perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian meniscayakan kolaborasi dan sinergi dengan Pemerintah Kota dan Stakeholder terkait agar berjalan secara efektif; Menimbang, bahwa untuk mengefektifkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian, telah ditandatangani Adendum Atas Nota Kesepakatan antara Pengadilan Agama Surabaya Kelas IA dengan Pemerintah Kota Surabaya Nomor W13-A1/6841/HM.01/6/2022, Nomor 415.4/9323/436.1.2/2022 tentang Sinergi Pelayanan Pengadilan Agama Surabaya, Nomor W13-A1/5633/HM.01/6/2023, Nomor 100.3.7.1/3859/436.1.2/2023 tertanggal 26 Juni 2023 dimana pasal 5 angka 2 huruf (f) dalam adendum tersebut pada pokoknya menyebutkan salah satu tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya untuk melakukan intervensi dan monitoring keluarga korban perceraian berdasarkan data perceraian dari Pengadilan Agama Surabaya; Menimbang, bahwa berdasarkan Resume Rapat bersama tertanggal 25 Agustus 2023 antara Pengadilan Agama Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya terkait tindak lanjut Adendum Nota Kesepakatan diatas, disepakati bahwa Pengadilan Agama Surabaya untuk mencantumkan dalam amar putusan perintah kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk memberikan pelayanan publik, terutama terkait perubahan identitas Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, perijinan dan pelayanan publik lainnya, setelah pihak Tergugat menunaikan hak-hak perempuan dan anak sesuai amar putusan Pengadilan Agama Surabaya; Menimbang, bahwa kolaborasi, sinergi dan kesepakatan diatas dinilai sesuai dengan ketentuan pasal 2, 3, 4, dan 6 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka majelis hakim perlu mencantumkan dalam amar putusan untuk memerintahkan Pemerintah Kota Surabaya memberikan pelayanan perubahan identitas Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, perijinan dan pelayanan publik lainnya setelah Pemohon memenuhi nafkah iddah dan mut?ah diatas; Menimbang, bahwa oleh karena petitum nomor 3 (tiga), nomor 4 (empat), dan nomor 5 (lima) tentang nafkah iddah, mut?ah, dan naflah madliyah telah dicabut oleh Penggugat, maka Ketua Majelis Hakim tidak perlu mempertimbangkan dan harus dikesampingkan; Menimbang bahwa tentang petitum gugatan Penggugat nomor 6, Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan berdasarkan Pasal 89 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka semua biaya yang timbul akibat perkara ini dibebankan kepada Penggugat; Mengingat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syar?i yang berkaitan dengan perkara ini. MENGADILI 4.1. Nafkah madliyah sejumlah Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah); 4.2. Nafkah iddah sejumlah Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah); 4.3. Mut?ah dalam bentuk uang sejumlah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah); yang harus dibayar sebelum Tergugat mengambil Akta Cerai; |
Tanggal Musyawarah | 21 Nopember 2024 |
Tanggal Dibacakan | 21 Nopember 2024 |
Kaidah | — |
Abstrak |
Lampiran
- Download Zip
- —
- Download PDF
- —
Putusan Terkait
- Putusan terkait tidak ada