Pengantar |
Konsep perjanjian padadasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.). Apabila orang yang berjanji tidakmemenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W., orangtersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Namun,pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidakmemenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orangtersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyatatidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepadaorang tersebut.
Kondisi ini menimbulkanpermasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapatdikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harusdilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telahmelakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana. |
Pendapat Mahkamah Agung |
Atas permasalahantersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorangtidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebutdibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebutbukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebutharus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Pandangan ini dapatditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa: Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepadasaksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00(empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidakmengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yangdiperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, olehkarenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatanpidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanyapula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Pandangan serupa jugatercantum dalam beberapa putusan. Pertama, Putusan No. 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:
Bahwa berdasarkan fakta tersebut, MahkamahAgung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwadengan saksi korban adalah hubungankeperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebundan tanah atau rumahmilik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukumtersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan caratidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksikorban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akantetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifatkeperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan. Kedua, Putusan No. 1316 K/Pid/2016 (Linda Wakary), yangmenyatakan: Karena kasus ini diawali dengan adanyaperjanjian jual beli antara Saksi korban dengan Terdakwa dan Terdakwa tidakmemenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalahmasuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka Terdakwa harus dilepas darisegala tuntutan hukum. Ketiga, Putusan No. 1336 K/Pid/2016 (Agusmita) yanmenyatakan:
Bahwa sekiranya dikemudian hari saksiApriandi tidak bisa mengembalikan pinjaman uang kepada saksi korban diantaranyadisebabkan karena Terdakwa juga belum membayar pinjamannya kepada saksiApriandi, maka permasalahan tersebut merupakan dan masuk ranah hukum perdatayang secara yuridis harus diselesaikan di hadapan Hakim perdata.
Keempat, Putusan No. 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yangmenyatakan:
Bahwa perkara a quo bermula dari adanyapinjam meminjam sejumlah uang antara Terdakwa dengan korban, namun pada saatjatuh tempo yang dijanjikan Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjamantersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehinggapenyelesaiannya melalui jalur perdata.
Dari putusan-putusantersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanyahubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkanperjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjiantersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkarapidana. Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwaapabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelahperjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yangmerupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan No. 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), No. 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), No. 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), danNo. 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani).
Namun demikian tidaksemua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandangsebagai penipuan. Apabila perjanjiantersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat jahat untukmerugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi,tetapi tindak pidana penipuan. Pandangan ini terdapat dalam putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yangmenyebutkan bahwa:
Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakankasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utangpiutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karenaTerdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu ataujabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran,dan itikat buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.
Putusan lain yang menyatakanhal serupa adalah Putusan No. 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa perjanjianyang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lainbukan wanprestasi tetapi penipuan dan PutusanNo. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong)yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa danSaksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesarRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibitkakao Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikadtidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiilTerdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan). |